PP AL Mukhtariyah As Syafi'iyah - Bidaah adalah sebuah serial Malaysia yang tayang di Viu selama bulan Ramadhan, yang ditulis oleh Eirma Fatima. Serial ini mendapatkan perhatian besar di Indonesia dan Malaysia, terutama dengan penggambaran penyimpangan agama, khususnya praktik meminum air bekas mandi guru untuk mencari berkah. Makalah ini secara kritis menganalisis praktik tersebut dari perspektif Islam, dengan fokus pada konsep tabarruk (mencari berkah) dan pandangan Islam terhadap praktik-praktik semacam itu. Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun mencari berkah dari orang saleh diperbolehkan dalam Islam, tindakan meminum air bekas mandi guru sebagaimana digambarkan dalam serial ini merupakan bid’ah (inovasi agama) dan sebaiknya dihindari.
Pendahuluan
Serial televisi Bidaah telah menimbulkan kontroversi dan mendapat pujian serta kritik karena penggambaran praktik-praktik agama yang menyimpang dari ajaran Islam yang tradisional. Salah satu adegan yang paling kontroversial menggambarkan sebuah komunitas yang disebut Jihad Ummah, di mana para pengikutnya meminum air bekas mandi guru mereka untuk mendapatkan berkah. Adegan ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah praktik semacam ini sesuai dengan ajaran Islam dan apakah ia diperbolehkan dalam kerangka tabarruk. Makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi perspektif Islam tentang praktik ini, dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam dan Hadis yang relevan.
Tabarruk dan Pencarian Berkah dalam Islam
Tabarruk adalah tindakan mencari berkah dari orang-orang saleh, seperti nabi, wali, atau ulama. Dalam tradisi Islam, praktik ini diperbolehkan selama tidak melibatkan inovasi atau penyimpangan dari Sunnah (tradisi Nabi). Salah satu bentuk tabarruk yang dikenal adalah mencari berkah dari air wudhu, sebagaimana tercermin dalam hadis berikut:
وَرَوَى الطَّبَرَانِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ إِلَىٰ الْمُطَاهِرِ فَيُؤْتَىٰ بِالْمَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan sanad yang jayyid dari Ibnu Umar RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bergegas menuju tempat bersuci umum, lalu beliau mengambil air dari tempat tersebut dan meminumnya seraya berharap mendapatkan berkah (kebaikan) dari bekas tangan-tangan umat Islam,’” (Muhammad ash-Sholihi, Subulul Huda war Rasyad fi Sirah Khairil ‘Ibad, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1993], jilid VII, hlm. 221).
Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang boleh mencari berkah melalui orang-orang saleh. Namun, hal ini harus diingat bahwa yang dapat menjadi sumber berkah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi SAW, bukan orang-orang yang ahli dalam bid’ah (inovasi agama).
Keabsahan Meminum Air Bekas Mandi Guru
Tindakan meminum air bekas mandi guru, seperti yang digambarkan dalam Bidaah, menimbulkan kekhawatiran terkait keabsahannya dalam ajaran Islam. Konsep mencari berkah melalui praktik seperti itu tidak ditemukan dalam Hadis atau dalam praktik para sahabat Nabi Muhammad SAW. Bahkan, para sahabat Nabi tidak pernah melakukan hal serupa, meskipun setelah wafatnya Rasulullah, kesempatan untuk meminum air bekas mandi tubuh Nabi (atau mandi jenazah beliau) akan ada. Ketidakhadiran praktik semacam ini menunjukkan bahwa meminum air bekas mandi guru adalah suatu bid’ah—sebuah inovasi dalam agama yang tidak ada dalam tradisi yang sahih.
Para ulama, seperti Syekh al-Baijuri, berpendapat bahwa meyakini kekuatan suatu objek atau praktik yang terlepas dari kehendak Allah adalah suatu bentuk kufur (kekufuran). Sebagaimana pendapat beliau dalam kitab Tuhfatul Murid:
فَمَنِ اعْتَقَدَ أَنْ الْأَسْبَابَ الْعَادِيَّةَ كَالنَّارِ وَالسَّكِينَ وَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ تُؤَثِّرُ فِي مُسَبِّبَاتِهَا مِنْ حَرْقٍ وَقَطْعٍ وَشَبْعٍ وَرِيٍّ بِطَبْعِهَا وَذَاتِهَا فَهُوَ كَافِرٌ بِالْإِجْمَاعِ
Artinya: “Siapa pun yang meyakini bahwa penyebab itu tergantung kepada akibatnya, seperti api menyebabkan terbakar, pisau menyebabkan terbelah, makan menyebabkan kenyang dan minum menyebabkan segar dengan sendirinya dan karena zat tersebut, maka orang yang meyakini ini akan dikategorikan sebagai orang yang kufur menurut konsensus ulama.” (Syekh al-Baijuri, Tuhfatul Murid).
Hukum Meminum Air Bekas Mandi Guru
Selain meminum air bekas mandi guru merupakan bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, perilaku ini juga melanggar hukum Islam dalam hal makanan dan minuman yang halal untuk dikonsumsi. Allah memerintahkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik, serta mengharamkan segala yang sebaliknya. Dalam QS. Al-Maidah [5]:3, Allah mengharamkan berbagai jenis makanan dan minuman, termasuk yang mengandung najis:
يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ
Artinya: “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. Al-Maidah [5]:3).
Kata الخَبَٰٓئِثَ secara etimologis berarti buruk atau rusak, dan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang kotor atau mengandung najis. Oleh karena itu, makanan atau minuman yang tercemar dengan najis atau kotoran dilarang untuk dikonsumsi.
Dalam konteks air bekas mandi guru, ketika mandi, pasti terdapat kotoran atau najis yang ikut bersama air tersebut. Oleh karena itu, air bekas mandi siapapun, termasuk guru, tidak boleh diminum karena sudah tercampur dengan kotoran atau najis.
Kesimpulan
Mencari berkah dari seorang guru diperbolehkan dalam Islam, namun jika dilakukan tanpa dasar yang sahih dan terkesan berlebihan, seperti meminum air bekas mandi guru, maka hal tersebut perlu dihindari. Selain itu, jika dipandang dari aspek makanan dan minuman yang halal, meminum air bekas mandi guru berpotensi menjadi haram karena dapat mengandung najis.
Adegan kontroversial dalam serial Bidaah ini mengingatkan kita untuk selalu kritis terhadap praktik-praktik yang mengatasnamakan agama namun tidak memiliki dasar syariat yang jelas. Hal ini juga menjadi cerminan bagaimana penyimpangan bisa terjadi ketika seseorang mengikuti ajaran tanpa memverifikasi kebenarannya, sehingga terjebak dalam bid’ah yang justru menjauhkan kita dari ajaran Islam yang murni.
Penulis: Ustadzah Siti Amiratul Adibah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Alumnus Pondok Pesantren As’ad Jambi dan Ma’had Aly Situbondo.