Nama | Almaghfurlah KH Bisyrul Khafi Sholeh |
Posisi | Pendiri dan Pengasuh |
PP AL Mukhtariyah As Syafi'iyah - Mbah Bis, sejak usia 7 tahun, dijanjikan oleh Mbah Sholeh untuk mondok jika mampu menghafal Jurumiyyah pada usia 12 tahun. Namun, janji itu tidak terealisasi, karena Mbah Sholeh tidak memberangkatkannya ke pondok pesantren. Tanpa sepengetahuan ayahnya, Mbah Bis akhirnya memutuskan untuk berangkat mondok sendiri, meskipun tanpa bekal sedikit pun.
Mbah Bis berangkat menuju Sarang dengan berjalan kaki. Di pondok pesantren, makanan yang tersedia bagi Mbah Bis adalah sego (kerak nasi) atau pace (sejenis mengkudu).
Setelah menghabiskan waktu satu setengah tahun (lebih kurang 13 tahun), Mbah Zubair dan Mbah Mad mengorganisir jamaah haji. Dalam kelompok itu, Mbah Bis terpilih berangkat ke Makkah, karena termasuk dalam saudara mindoan (keluarga dekat).
Sesampainya di Makkah, Mbah Bis memutuskan untuk tinggal dan mencari ilmu, meskipun rombongan jamaah haji meninggalkannya setelah sebulan. Tanpa uang dan bekal makanan, Mbah Bis hanya mengandalkan air zamzam untuk bertahan hidup. Keajaiban terjadi, Mbah Bis tidak pernah merasa lapar berkat berkah dari air tersebut.
Setelah sebulan, Mbah Bis akhirnya bertemu dengan seorang guru bernama Syaikh Umar Hamdan. Hubungannya dengan Syaikh Umar sangat dekat, bahkan beliau sering diutus untuk tugas tertentu. Suatu hari, menjelang ujian sekolah, Syaikh Umar memberikan petunjuk yang sangat tepat mengenai soal ujian, yang ternyata sesuai dengan apa yang keluar, meskipun Syaikh Umar tidak pernah mengulang pelajaran tersebut.
Setelah 18 tahun di Makkah, Mbah Bis menerima surat dari Mbah Sholeh, yang memintanya untuk kembali ke Indonesia. Namun, Mbah Bis menolak untuk pulang. Beberapa waktu kemudian, Mbah Sholeh mengirim surat lagi, tetapi kali ini tanpa mencantumkan namanya, mengabarkan bahwa Mbah Sholeh telah wafat. Mbah Bis akhirnya memutuskan untuk pulang.
Setibanya di Indonesia, Mbah Bis mengetahui bahwa Mbah Sholeh masih hidup. Tidak lama setelah itu, Mbah Sholeh menikahkan anaknya, Mbah Nafisah, dengan Mbah Bis. Namun, tak lama setelah menikah, Mbah Nafisah wafat karena sakit.
Karena kedekatannya dengan Mbah Husain, yang telah mendalami Al-Qur’an selama 22 tahun di Makkah, Mbah Bis menikah lagi dengan adik Mbah Nafisah, yaitu Mbah Azizah. Dari pernikahan keduanya, Mbah Bis dikaruniai enam anak, yaitu:
Sebelum wafat, Mbah Sholeh berwasiat agar Mbah Bis menikahi istri adiknya, Mbah Humiyatun. Meski awalnya ragu karena alasan ekonomi, setelah Mbah Sholeh wafat, Mbah Bis akhirnya memenuhi wasiat tersebut. Mbah Bis menikahi Mbah Humiyatun, yang sebelumnya sudah memiliki enam anak dari Mbah Hatim Ashom. Anak-anak Mbah Humiyatun adalah:
Dari pernikahan ini, Mbah Bis dikaruniai seorang putra bernama Abuya Fathul Jawad.
Mbah Bis tinggal di Mukhtariyyah Assyafi’iyyah sampai akhir hayatnya. Selain itu, Mbah Sholeh dan Mbah Badi’ah memiliki enam anak, yang juga menjadi bagian penting dari keluarga besar ini, yaitu:
Sebelum menikahi Mbah Badi’ah, Mbah Sholeh sebelumnya menikah dengan Mbah Abdurra’uf dari Perak, namun tidak dikaruniai anak. Pernikahan kedua dengan Mbah Maryamah pun tidak menghasilkan keturunan.
Perjalanan hidup Mbah Bis merupakan perjalanan penuh perjuangan, ilmu, dan keteguhan dalam menuntut ilmu serta menjalani kehidupan dengan penuh keberkahan. Warisan ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan Mbah Bis akan terus dikenang oleh generasi berikutnya.